Said Sebut Terima Kasih Mega Ke Prabowo Tunjukkan Sikap Kenegarawanan

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Perayaan hari jadi ke-52 PDI Perjuangan di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1), berlangsung sederhana namun penuh makna. Dalam momen ini, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menyampaikan pidatonya yang menyentuh dan menunjukkan sikap kenegarawanan, terutama saat mengucapkan terima kasih ke Presiden Prabowo Subianto yang membantu memulihkan nama baik Bung Karno.

"Saya selalu tersentuh saat beliau berbicara dua hal, pertama tentang cita-cita Indonesia Raya, dan kisah perjuangan politik Bung Karno yang di akhir kekuasaannya diperlakukan bak pesakitan politik," tutur Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah dalam keterangan tertulisnya.

Said mengatakan, salah satu pidato Megawati yang membuatnya tersentuh, ketika Megawati menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Presiden Prabowo, pimpinan MPR, dan seluruh rakyat Indonesia atas keberhasilan mencabut TAP MPR No. XXXIII/MPR/1967. Keputusan penting tersebut telah memulihkan nama baik Presiden pertama RI, Soekarno, dari tuduhan keterlibatan dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Said menjelaskan, seperti diketahui Bung Karno diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden melalui TAP MPR No. XXXIII/MPR/1967. TAP MPR ini juga secara tidak langsung menuduh Bung Karno terlibat dalam peristiwa G30S 1965.

"Keluarnya TAP MPR No XXXIII/MPR/1967 yang mencabut mandat Presiden Soekarno, selaku mandataris MPR, dan melalui TAP MPR ini pula negara memberikan tuduhan bahwa Presiden Soekarno dianggap memberikan keuntungan atas Gerakan G 30 S 1965, dan melindungi tokoh-tokoh yang terlibat dalam gerakan tersebut. Atas pertimbangan tersebut Presiden Soekarno dimakzulkan oleh MPR," katanya.

Tak hanya kehilangan mandat sebagai pemimpin bangsa, lanjut, Said, Bung Karno juga diperlakukan dengan cara yang tidak pantas sebagai seorang proklamator dan mantan presiden. Beliau menjadi tahanan kota, dijauhkan dari keluarga, dan tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang layak hingga akhir hayatnya.

"Selain itu, anak anak Bung Karno, termasuk Ibu Mega menghadapi berbagai tekanan, dan pembatasan politik di masa orde baru. Orde baru juga melakukan de-Soekarnoisasi, atau pelarangan atas penyebaran ajaran ajarannya secara sistematis," ungkap Said.

Said melanjutkan, sejarah itu tersimpan kuat di dalam diri keluarga Bung Karno, termasuk Megawati, yang mesti menghadapi tekanan politik dan pembatasan di era Orde Baru. Sistematisasi de-Soekarnoisasi membuat ajaran-ajaran Bung Karno disingkirkan dari ruang publik.

"Maka ketika MPR mencabut TAP MPR NoXXXIII/MPR/1967, rasa haru dan terima kasih itu beliau ucapkan kembali. Sebab dengan pencabutan TAP MPP tersebut negara telah memulihkan nama baik Bung Karno," ujarnya.

Menurut Said, tanpa andil Presiden Prabowo dan seluruh Pimpinan MPR, serta dukungan seluruh elemen rakyat, mustahil TAP MPR yang menyangkutkan Bung Karno dengan G 30 S 1965 itu bisa dihapuskan. Karena itu, Said menilai, pidato Megawati telah memberikan kesan mendalam.

Said menilai, Megawati menyampaikan rasa terima kasih yang tulus tersebut, karena pencabutan TAP MPR No XXXIII/MPR/1967 yang memulihkan nama baik Bung Karno justru didukung oleh Presiden Prabowo yang nota bene bukan kader PDIP.

Said juga menyoroti bagaimana Megawati saat menjabat sebagai Presiden RI tidak segera mengambil langkah untuk memulihkan nama baik ayahnya. Menurutnya, hal ini menunjukkan jiwa kenegarawanan Megawati yang menghindari konflik kepentingan dan lebih mengutamakan stabilitas bangsa.

"Apalagi keadaan ekonomi dan keamanan nasional saat itu sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya beliau ingin memberikan keteladanan, jangan mementingkan keluarga meskipun itu penting, di saat negara sedang membutuhkan tanggungjawab lain yang lebih poritas," tuturnya.

Karena itu, Said menilai, sikap kenegarawanan yang ditunjukkan Prabowo dan Megawati patut dicontoh. Sikap itu perlu teladani sebagai mata aerial dalam membangun peradaban politik yang kering belakangan ini.

"Kita juga menyaksikan, Orde Baru yang perkasa tidak bisa membungkam kebenaran. Kebenaran akan senantiasa mencari jalan keadilannya sendiri. Dirgahayu 52 tahun PDI Perjuangan," pungkas Said.

(ory/ory)

Selengkapnya