Rencana Perubahan Konsep Ppdb Mulai 2025, Sistem Zonasi Tetap Dipertahankan?

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, memberi sinyal akan adanya perubahan dalam konsep Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mulai tahun ajaran 2025/2026. Ia juga memberikan gambaran awal mengenai kebijakan baru di sistem pendidikan dasar dan menengah, di mana istilah "zonasi" dan "ujian" akan dihapus dan digantikan dengan mekanisme baru.

“Tak bocorin sedikit saja, nanti tidak akan ada kata-kata ujian lagi. Kata-kata ujian tidak ada,” kata Abdul Mu'ti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/1/2025).

Mu'ti menambahkan, perubahan serupa juga akan berlaku untuk sistem zonasi pada PPDB. Ia mengungkapkan bahwa istilah baru telah disiapkan untuk menggantikan istilah tersebut. “Sekadar bocoran, nanti kata-kata zonasi tidak ada lagi, diganti dengan kata lain. Nah, kata lainnya apa? Tunggu sampai keluar,” ujarnya.

Dia menuturkan, konsep terkait pengganti ujian ini telah selesai, dan akan diumumkan beberapa waktu mendatang. "Jadi nanti akan kami sampaikan, setelah peraturan mengenai PPDB nanti keluar. Nah, karena itu mudah-mudahan tidak perlu menunggu sampai selesai Idul Fitri," ucap Abdul Mu'ti.

Adapun terkait PPDB tahun 2025 ini, Abdul Mu'ti menyatakan keputusannya akan diputus dalam sidang kabinet. "Sudah kami serahkan hasil kajian Kementerian kepada Bapak Presiden melalui Seskab (Sekretaris Kabinet), sehingga kapan sistem ini diputuskan sepenuhnya kami menunggu arahan dan kebijaksanaan Bapak Presiden," tutur Mendikdasmen Abdul Mu'ti.

Pengamat Kebijakan Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Cecep Darmawan mengapresiasi langkah pemerintah untuk melakukan perbaikan terkait konsep Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2025. Namun, ia menekankan perbaikan tersebut harus didasarkan pada kajian mendalam untuk mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan dari pelaksanaan PPDB di tahun-tahun sebelumnya.

"Saya belum baca item isinya tapi prinsipnya memang kita pertama apresiasi kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan atau perubahan ya. meski begitu sebaiknya perbaikan perubahan itu dilakukan atas dasar kajian. Apa sih kelemahan dan kelebihan PPDB yang lalu, seperti apa kekurangan dan kelebihannya," kata Cecep kepada Liputan6.com, Jumat (24/1/2025).

Ia juga menyoroti pentingnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengaturan PPDB. Menurutnya, pengelolaan teknis PPDB seharusnya menjadi kewenangan daerah, sementara pemerintah pusat cukup mengatur prinsip-prinsip umum.

"PPDB itu sebenarnya kewenangan pusat atau kewenangan daerah ya? Kalau saya melihat PPDB itu kewenangan daerah, bukan kewenangan pusat. Jadi sebaiknya PPDB itu dibuat aturannya secara item oleh daerah masing-masing. Apakah zonasi, domisili, dan lain-lain itu berikan pengaturan kepada daerah. Ya jangan kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusat sekedar mengatur prinsip-prinsip saja," tegasnya.

Ia menjelaskan prinsip umum yang bisa diatur oleh pemerintah pusat, seperti transparansi, akuntabilitas, dan larangan praktik curang. Namun, teknis pelaksanaannya, termasuk metode zonasi atau jalur prestasi, harus diserahkan kepada pemerintah daerah. "Jadi mindsetnya harus diubah sekarang. Pemerintah pusat jangan ngatur-ngatur lagi PPDB secara teknis. Pengaturan teknis ada di daerah, pengaturan sifatnya umum, general, nah itu ada di pusat," jelasnya.

Di sisi lain, Cecep mengkritik langkah pemerintah pusat yang hanya fokus pada perubahan istilah tanpa mengubah substansi kebijakan secara nyata. Misalnya rencana penggantian istilah dalam sistem PPDB, seperti dari zonasi ke domisili.

"Pemerintah pusat jangan juga kurang kerjaan hanya merubah-rubah istilah, tapi substansinya nggak diubah. Justru harusnya substansinya diubah. Nah bagaimana substansinya diubah, yang tadi saya katakan. Pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya kepada daerah untuk regulasi teknis. Pemerintah pusat tugasnya satu, membuat regulasi umum, kedua, melakukan pemantauan," paparnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa aturan yang dibuat daerah harus melibatkan stakeholder pendidikan seperti pihak sekolah, universitas, hingga DPRD. Pelibatan ini bertujuan agar kebijakan yang dibuat memiliki legitimasi dan dapat diterima secara luas.

"Daerah yang membuat aturan juga jangan sekadar aturan. Dia harus melibatkan stakeholder, pihak sekolah, pihak misalnya universitas, stakeholder-stakeholder pendidikan lain. Dilibatkan dalam membuat peraturan-peraturan tentang PPDB di daerah, termasuk DPRD diajak serta, diurun rembuk. Nah sudah itu barulah dibuat peraturan bupati, peraturan wali kota gitu ya. Jadi jangan sepihak pemerintah, pemerintah harus melibatkan dulu berbagai stakeholder," ungkapnya.

Cecep turut menyoroti beberapa kelemahan sistem PPDB yang sudah berjalan hingga saat ini. Menurutnya, integritas masih menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan PPDB, khususnya jika melihat adanya praktik-praktik kecurangan yang terjadi.

"Nah pertama soal integritas, ya, jadi selalu ada saja kecurangan-kecurangan. Nah kenapa itu kecurangan? Berarti satu, aturannya belum komprehensif. Kedua, lemahnya manajemen pengawasan. Ketiga, lemahnya sanksi. Jadi, poin-poin itu yang harus dibenahi," ujarnya.

Oleh karenanya, ia mendorong sistem pendaftaran dan pengumuman PPBD harus sepenuhnya berbasis online. Hal ini bertujuan untuk menutup celah terjadinya kecurangan. "Makanya perlu juga dipikirkan sistem online. Pendaftaran dan pengumuman itu online supaya tidak ada jalur belakang," katanya.

Ia juga menyarankan pembuatan fakta integritas yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, aparat keamanan, tokoh masyarakat, hingga orang tua siswa.

"Buat semacam fakta integritas dari semua. Di daerah itu ada gubernur, mungkin kapolda kalau di provinsi ya, pangdam, kejaksaan, universitas, tokoh masyarakat, media. Fakta integritas menyatakan bahwa PPDB yang bersih, yang berintegritas, tanpa titipan, dan tanpa pelanggaran-pelanggaran," pungkasnya.

Sistem PPBD Masih Banyak Masalah?

Sementara itu, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menyatakan bahwa setiap kebijakan pendidikan, termasuk konsep Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), perlu dievaluasi dan diperbaiki. Menurutnya, hingga saat ini konsep PPDB masih menghadapi berbagai masalah.

"Ya, sebuah kebijakan pendidikan kan memang harus dievaluasi dan diperbaiki. Kita tahu bahwa PPDB zonasi itu kan selama ini masih banyak bermasalah, ya. Dan sebenarnya masalahnya sudah diketahui di mana. Tinggal perbaikannya itu ada di Peraturan Menteri harusnya," ujar Doni kepada Liputan6.com, Jumat (24/1/2025).

"Terkait konsep-konsep yang akan diperbaiki. Nah, ini yang jadi masalah kan sampai sekarang Peraturan Menterinya kan. Aturannya kan belum keluar. Sehingga detailnya seperti apa, saya terus terang belum bisa memberikan komentar dan tanggapan, ya," sambungnya.

Di sisi lain, ia mengkritisi rencana penggantian istilah dalam sistem PPDB, seperti dari zonasi ke domisili. Menurutnya, perubahan istilah ini berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat, mengingat zonasi sebelumnya juga berbasis domisili dengan menggunakan Kartu Keluarga (KK).

"Tetapi dengan penggantian seperti istilah Domisili itu kan memang nanti bisa membingungkan orang loh, ya. Karena dulu Zonasi kan juga basisnya Domisili, pakai KK juga," ungkapnya.

Menurut Doni, inti permasalahan dalam PPDB bukanlah soal domisili atau KK, melainkan bagaimana mengatur proses penerimaan agar anak-anak yang tinggal dekat dengan sekolah dapat memperoleh akses ke sekolah tersebut. "Jadi yang menjadi persoalan kan sebenarnya bukan Domisilinya, bukan KK itu. Tetapi bagaimana mengatur proses penerimaannya supaya aksesnya itu anak-anak yang dekat dengan sekolah bisa memperoleh akses ke sekolah yang terdekat, gitu," imbuhnya.

Sejauh ini, lanjut Doni, penerapan sistem PPDB juga masih banyak menemui sejumlah masalah, salah satunya adalah ketidaktahuan pejabat daerah terhadap mekanisme yang diatur oleh kementerian. "Kekurangannya adalah para pejabat, yaitu terutama di pemerintah daerah, mereka itu banyak belum paham dengan PPDB Zonasi. Sehingga banyak membuat peraturan daerah tentang PPDB yang malah bertentangan dengan kebijakan kementerian," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam PPDB, jalur berbasis prestasi akademik seharusnya menjadi opsi terakhir setelah kebutuhan jalur zonasi atau jarak terpenuhi. Namun, hingga saat ini masih ada yang langsung menetapkan kuota 20% untuk jalur prestasi.

"(Harusnya) Mulainya dari zonasi dulu, dari jarak. Baru kemudian setelah itu dari usia anaknya, gitu kan. Dari jarak, usia anak, gitu kan. Kenapa usia? Ya karena kan mungkin ada beberapa anak yang karena kebijakan sebelumnya, dia nggak bisa sekolah, sehingga dia usianya lebih tinggi. Nah masa kita punya anak seperti itu, kemudian tidak bisa akses pendidikan," imbuhnya.

"Baru yang ketiga, jalur perpindahan, jalur afirmasi. Afirmasi itu dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, anak berkebutuhan khusus. Kalau itu semua sudah terpenuhi, ya nggak ada jalur prestasi. Tapi pemerintah daerah kan banyak buat aturan sendiri yang bertentangan," sambungnya.

Adapun untuk mengurangi praktik kecurangan dalam PPDB, Doni menyarankan agar pemerintah fokus pada peningkatan kualitas pendidikan di semua sekolah, baik negeri maupun swasta. "Mengapa orang tua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik? Ya karena memang orang tua ingin anaknya berhasil. Kan itu sesuatu yang wajar. nan menjadi masalah adalah, mengapa pemerintah tidak bisa membuat semua sekolah menjadi sekolah yang baik?" katanya.

Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu bekerja sama dengan sekolah swasta dan membiayai pendidikan anak-anak di sana. "Kalau kita hanya mengutamakan tadi prestasi dan lain-lain, anak-anak dari keluarga miskin ya dia nggak akan bisa sekolah di swasta, nggak bisa sekolah negeri, karena dia nggak pinter, ya lalu kemudian menjadi drop out dari sekolah," pungkasnya.

Selengkapnya