ARTICLE AD BOX
Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah RI termasuk juga Kepolisian, TNI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tengah mempelajari dan mengoordinasikan rencana pemulangan mantan pentolan Jemaah Islamiyah, Hambali. Dirinya saat ini ditahan di penjara militer Amerika Serikat (AS) di Guantanamo, Kuba.
Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan pemerintah akan bersikap adil mengurus nasib Hambali sekalipun yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana.
"Memang saya tahu ada pendapat beda-beda mengenai Hambali ya, tapi kami ini pemerintah, dan pemerintah itu harus bersikap adil dan menyamaratakan semua warga negara Indonesia yang menghadapi masalah di luar negeri," ujar Yusril di Kantornya, Jakarta, Selasa (21/1) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yusril tak ingin Hambali dan WNI lain yang sedang menjalani hukuman di negara lain bernasib sama seperti mantan Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID).
"Kami tidak ingin mengulang apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dahulu, dan itu pun saya yang menyelesaikan sebagai Menteri Kehakiman terhadap eks MAHID, Mahasiswa Ikatan Dinas yang mereka dituduh komunis, tidak bisa pulang ke Tanah Air, bertahun-tahun sampai tua," ucap dia.
Sejumlah pihak menyambut baik rencana tersebut tetapi tetap memberikan catatan kritis.
Pakar terorisme dari UIN Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta Zaki Mubarak berpendapat pemulangan warga negara Indonesia yang ditahan di luar negeri bukan soal untung-rugi, melainkan menyangkut martabat negara.
"Taruhannya memang adalah soal kedaulatan dan martabat (dignity) negara," ujar Zaki saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (24/1).
Ia menjelaskan negara tidak boleh lepas tangan karena Hambali bagaimanapun seorang WNI. Negara, kata dia, tidak boleh melakukan pembiaran.
"Indonesia adalah negara hukum yang berdaulat, sehingga sudah seharusnya meminta Hambali untuk dikembalikan dan menjalani proses hukum di Indonesia," kata dia.
Selama menjalani penahanan di Guantanamo, Hambali disebut banyak mengalami kekerasan. Apabila pemerintah RI melakukan pembiaran, maka tindakan tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi.
"Jadi, rencana atau usaha untuk mengembalikan Hambali perlu kita dukung dan menjadi kewajiban pemerintah melakukan itu," tegas Zaki.
Ia memberi sejumlah catatan mengenai hal itu. nan harus diperhatikan, terang dia, adalah kesungguhan dari pemerintah. Ia berharap pemerintah tidak sekadar berwacana.
"Sebelumnya, alasannya adalah belum siap karena khawatir akan membangkitkan sel-sel teror di Tanah Air. Saat ini momentum yang sangat telat. JI sudah menyatakan bubar dan kembali ke NKRI sehingga tidak ada alasan lagi menolak Hambali. Efek dan pengaruh Hambali terlalu dibesar-besarkan," imbuhnya.
Dia menuturkan sebenarnya tak ada alasan bagi Densus 88 dan BNPT tolak Hambali karena hal serupa sudah dilakukan terhadap para tahanan Maluku-Papua.
"Jika para tahanan politik Papua Merdeka saja akan dibebaskan demi rekonsiliasi nasional, maka pembebasan itu juga harusnya berlaku bagi Hambali. Tidak ada lagi alasan bagi Densus 88 dan BNPT menolak Hambali," sambungnya.
Menurut dia, kepulangan Hambali justru menjadi momen penting sebagai bentuk rekonsiliasi pada semua anak bangsa, sekaligus menunjukkan pemerintah menjunjung tinggi konstitusi.
"Sebenarnya bukan pada untung rugi, tapi tanggung jawab negara untuk melindungi seluruh warga negaranya di mana pun berada. Jadi, alasan dia teroris, maka negara lepas tangan dan membiarkan mengalami kekerasan di Guantanamo tidak bisa diterima," ucap Zaki.
"Jika Filipina berupaya keras meminta pengembalian Mary Jane yang dipidana di Indonesia karena narkoba, bukan berarti dia mendukung tindakan kriminalnya itu, tapi merupakan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab negara," kata dia menambahkan.