ARTICLE AD BOX
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank-bank RI mulai sudah melaporkan kinerja keuangan sepanjang tahun 2024. Meskipun masih mampu mencetak laba, sebagian besar hanya mampu mencetak pertumbuhan yang terpaut mini.
Belum lagi, penyaluran kredit industri perbankan yang mampu double digit hingga akhir tahun, tidak diiringi dengan pertumbuhan yang sama pada dana pihak ketiga (DPK). Ditambah dengan tantangan era beban bunga tinggi, yang nampaknya masih akan berlanjut di tahun 2025, lantaran isu likuiditas ketat perbankan yang belum juga usai.
Menurut pengamat perbankan Paul Sutaryono, laba bersih perbankan tahun 2024 tidak mengalami kenaikan signifikan akibat pendapatan bunga kredit yang kurang optimal. Ia merujuk pada information Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menunjukkan bahwa jumlah kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (dicairkan) atau undisbursed indebtedness (UL) slope umum tampak naik 6,6% (yoy) per November 2024. Paul menyorot UL slope BUMN, yang mayoritas tergolong large bank, juga tampak naik.
"Hal itu menjadi salah satu indikator bahwa pendapatan dari bunga kredit kurang optimal. Akibatnya, laba bersih tidak mengalami kenaikan signifikan. Hal itu juga bisa mendorong pendapatan bersih (net liking margin/NIM) menipis pada level yang lebih rendah," terang Paul saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (6/2/2025).
Belum lagi ditambah ketika rasio efisiensi atau biaya operasional dibanding pendapatan operasional (BOPO) yang juga naik. Paul menerangkan bahwa makin tinggi BOPO, makin tidak efisien slope tersebut. Adapun ambang batas BOPO yang masih dianggap sehat berada di angka maksimal 70%-80%.
"Itu semua mendorong tipisnya kenaikan laba bersih slope pemerintah," ujar Paul.
Meski demikian, ia berpendapat bahwa tantangan beban tinggi tidak akan membayangi perbankan sepanjang tahun ini.
"Tetapi slope saat ini memang sedang bersaing ketat dalam menghimpun dana masyarakat dengan surat utang atau obligasi pemerintah. Mengapa? Karena bunga obligasi seperti ORI (obligasi negara ritel) yang sekitar 6% itu jauh lebih besar daripada bunga deposito bank," kata Paul.
Maka demikian, biaya pendanaan slope untuk dapat menyaingi imbal hasil obligasi pemerintah jadi mahal. Menurut Paul, slope umum bakal menggenjot pendapatan non operasional othername fee-based income guna mengimbangi pendapatan bunga kredit yang menipis.
Senada, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai perkembangan kondisi ekonomi saat ini masih menimbulkan perebutan likuiditas.
"Sepertinya tahun ini isunya masih sama yaitu bagaimana slope dapat menjaga likuiditas dengan baik dan untuk itu biaya dana masih akan tetap tinggi," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (6/2/2025).
Perebutan likuiditas bakal semakin ketat dan slope tak terhindar dari beban biaya bunga tinggi. Trioksa mengingatkan bahwa surat utang pemerintah yang jatuh tempo tahun ini juga besar, membuat persaingan penghimpunan dana semakin berat.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Perkuat Perbankan, Mandat LPS Diperluas Setara LPS Negara Maju
Next Article Ketakutan Jokowi di Akhir Jabatan Makin Nyata, Ini Bukti Terbarunya